Thursday, 19 March 2015

Hukuman Mati Di Indonesia

Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia


Hukum pidana ialah hukum sanksi yang berupa pidana yang diancamkan kepada pelanggar normanya.[1] Demikian sanksi pidana masih memiliki tujuan pembalasan disamping tujuan pembinaan,[2] sekalipun masih terdapat ruang-ruang perdebatan yang menyertainya.
Salah satu yang menjadi kajian paling penting terhadap sanksi pidana adalah terkait dengan pelaksanaan pidana mati di Indonesia. Pidana mati merupakan pidana pokok paling berat yang dianut dalam hukum positif di Indonesia (KUHP). Pidana mati diatur dalam Pasal 10 huruf a Angka (1) KUHP.
Sebelum terlebih jauh membahas tentang pelaksanaan pidana mati di Indonesia, ada baiknya bagi kita untuk memahami sejarah pidana mati, negara-negara yang menganut/tidak menganut pidana mati, kaum yang pro maupun kontra terhadap pidana mati, fungsi pidana mati, tujuan pidana mati, pengaturan pidana mati sekaligus pelaksanaan pidana mati di Indonesia.
A.    Sejarah Pidana Mati
Pidana mati (dood straf) merupakan salah satu jenis pidana yang paling tua, setua umat manusia.  Namun yang jelas, pidana mati itu resmi diakui bersamaan dengan adanya hukum tertulis, yaitu sejak adanya Undang-Undang Raja Hamurabi di Babilonia pada abad ke-18 sebelum masehi. Saat itu ada 25 jenis pidana kejahatan yang diancam hukuman mati.
Dimulai pada zaman Romawi. Dapat dikatakan hukum Romawi yang dituangkan dalam Corpus Iuris Civil berlaku hampir selama seribu tahun atau dalam pertengahan abad ke-6 Masehi. Dari sinilah kemudian hukum Romawi mengembankan dirinya meliputi wilayah-wilayah yang semakin luas di seluruh Eropah. Gejala ini dinamakan penerimaan (resepsi) hukum Romawi.
Pidana mati juga dikenal pada masa Majapahit, pada masa zaman Hindu, pada masa zaman Islam bahkan menurut hukum adat. Belakangan yang terkenal ialah cerita-cerita yang menggambarkan keadaan di Perancis selama revolusinya pada penghabisan abad ke-18, di mana beberapa orang dalam suatu lapangan di muka umummenjalani hukuman mati dengan dipergunakannya guillotine, yaitu suatu barang tajam berat yang dijatuhkan dari atas kepala leher seseorang.
Dalam hukum positif di Hindia Belanda, pidana mati mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1918 dengan berlakunya Wetboek van Strafrecht (WvS). Kemudian lebih dipertegas seteleh kemerdekaan Indonesia melalui keberadaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP/WvS).[3] Hingga akhirnya pidana mati kita kenal dalam Pasal 10 huruf a Angka (1) KUHP jo Pasal 11 KUHP. Di awal-awal kemerdekaan ada beberapa eksekusi pidana mati. Salah satunya yang paling terkenal adalah eksekusi pidana mati terhadap mantan Perdana Menteri (PM) Amir Sjarifuddin pada tanggal 5 Desember 1948 (sekalipun eksekusi ini masih menimbulkan perdebatan di sana sini diakibatkan eksekusi ini tanpa sepengetahuan dan persetujuan Presiden Soekarno).[4] Hingga saat ini total ada 111 orang yang telah divonis mati di Indonesia, 60 diantaranya adalah warga Indonesia yang dihukum karena kasus pembunuhan berencana, dua orang dalam kasus terorisme. Sementara dari 49 orang yang dihukum karena kasus narkotika, sebagian besar diantaranya adalah warga asing.[5]
B.    Negara-negara yang menganut/tidak menganut pidana mati
Dalam perkembangan pelaksanaan pidana mati di dunia, banyak negara-negara yang masih mengakui dan menganut sekaligus banyak pula negara-negara yang tidak mengakui dan tidak menganut keberadaan pidana mati.
Adapun negara-negara yang masih mengakui dan menganut pidana mati diantaranya Bhutan, Brunei Darussalam, Burkina Faso, Gambia, Grenada, Rusia, Mali, Suriname, Gambia, Sri Lanka, Togo, Tonga, Samoa, Albania, Argentina, Bosnia Herzegovina, Meksiko, Peru, Turki, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Jepang, RRC, Korea Selatan, Indonesia, dsb.
Sedangkan negara-negara yang telah mencabut pidana mati seperti Brasil (1979), Republik Federasi Jerman (1949), Kolombia (1919), Kosta Rika (1882), Denmark (1978), Dominika (1924), Ekuador (1897), Fiji (1979), Finlandia (1972), Honduras (1965), Luxemburg (1979), Austria (1968), Portugal (1977), Uruguay (1907), Venezuela (1863), Eslandia (1928), Swedia (1973), Swiss (1973), dan Perancis.[6] 
C.    Alasan-Alasan Kaum Pro dan Kontra terhadap Pidana Mati
Kaum yang pro atau sering disebut dengan kaum retensionist terhadap pidana mati memiliki alasan-alasan diantaranya:
-          Ditinjau dari sudut juridis, dikatakan bahwa dengan peniadaan pidana mati, maka hilanglah suatu alat yang penting untuk penerapan yang baik dari hukum pidana;
-          Mengenai kemungkinan kekeliruan hakim, itu memang dapat terjadi, bagaimanapun baiknya undang-undang dirumuskan. Kekeliruan itu dapat diatasi dengan pentahapan upaya-upaya hukum dan pelaksanaannya;
-          Mengenai perbaikan diri dari terpidana, sudah barang tentu dimaksudkan agar dapat kembali dengan baik dalam masyarakat. Alapakah jika pidana penjara seumur hidup yang dijatuhkan, terpidana akan kembali lagi dalam pergaulan masyarakat?;[7]
 
-          Pidana mati itu masih dibutuhkan, terutama bagi mereka yang tergolong sebagai residivis (repeater criminal) dan bagi mereka yang melakukan tindak pidana yang membahayakan negara, misalnya makar, teroris atau narkotika;
-          Pidana mati dianggap sebagai sarana yang dapat mencegah seseorang untuk melakukan kejahatan karena pidana mati dianggap sebagai hal yang menakutkan atau menjerakan, sehingga dengan demikian ada rasa takut bagi orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan yang diancam dengan pidana mati. Pendapat yang demikian ini, ada kaitannya dengan pendapat dari Anselm Von Feuerbach dengan teorinya: Psy cologische Zwang (Paksaan Psikologis). Menurut teori tersebut, jika seseorang dijatuhi hukuman dengan sepengetahuan orang lain, maka orang lain tersebut akan merasa takut untuk melakukan tindak pidana. Sebenarnya, sejauh mana orang itu akan melaksanakan suatu peraturan akan sangat tergantung pada kesadaran dan kepatuhan hukum dari yang bersangkutan. Teori ini tidak berlaku secara umum;
-          Pidana mati bukan merupakan hal yang baru bagi masyarakat Indonesia, sebab pada pemerintahan Majapahit, bahkan sebelumnya pidana mati sudah ada di Indonesia.[8]
Kaum yang kontra atau sering disebut dengan kaum abolisionis terhadap pidana mati juga memiliki alasan-alasan diantaranya:
-          Sekali pidana mati dijatuhkan dan dilaksanakan, maka tiada jalan lagi, maka tiada jalan lagi untuk memperbaiki kesalahan hakim jika ia keliru menjatuhkan putusannya. Padahal hakim selaku manusia biasa tidak luput dari kesalahan;
-          Pidana mati itu bertentangan dengan perikemanusiaan;
-          Dengan penjatuhan pidana mati, sudah tertutup segala usaha untuk memperbaiki terpidana;
-          Apabila pidana mati itu dipandang perlu sebagai usaha untuk menakut-nakuti calon penjahat, maka pandangan itu adalah keliru karena pidana mati biasanya dilaksanakan tidak dimuka umum;
-          Penjatuhan pidana mati pada umumnya mengandung belas kasihan masyarakat, yang dengan demikian mengundang protes-protes terhadap pelaksanaannya;
-          Pada umumnya Kepala Negara lebih cenderung mengubah pidana mati dengan pidana penjara terbatas atau seumur hidup; [9]
-          Dihubungkan dengan Sila ke-2 Pancasila yang menempatkan manusia dalam keluhuran harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa, maka manusia sebagai pelaku tindk pidana harus menjadi perhatian utama pada saat penjatuhan pidana. Dengan perkataan lain harus ada individualisasi hukum pidana (artinya hukum pidana harus berorientasi pada pelaku tindak pidana);
-          Terkait dengan keberadaan Lembaga Pemasyarakatan, yang tugas utamanya adalah pembinaan narapidana, maka dengan dijatuhkannya pidana mati, berarti hal yang demikian bertentangan dengan tugas utama Lembaga Pemasyarakatan tersebut.[10]
D.   Fungsi Pidana Mati
Fungsi pidana mati tidak dapat dipisahkan dari fungsi hukum pidana itu sendiri. Sebagai hukum yang memiliki sanksi terberat/paling keras dibandingkan dengan jenis-jenis sanksi dalam berbagai bidang hukum lainnya, prinsipnya hukum pidana difungsikan sebagai upaya terakhir (ultimum remidium). Fungsi ini sering disebut sebagai fungsi subsidiaritas, yaitu penggunaan hukum pidana itu haruslah dilakukan secara hati-hati dan penuh dengan berbagai pertimbangan yang komprehensif.
Demikian halnya jika dikaitkan dengan pidana mati. Pidana mati musti dianggap sebagai pidana yang baru dijatuhkan jika tingkat kejahatannya sangat serius dan membawa dampak yang cukup luas bagi kehidupan sosial masyarakat maupun kehidupan bangsa dan negara. Pidana mati hendaklah benar-benar dipikirkan secara komprehensif dan mendasar untuk menghindari tidak berfungsinya hukum pidana dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebagai filter pidana mati, di Indonesia harus ada fiat eksekusi dari Presiden berupa penolakan grasi sekalipun seandainya terpidana tidak mengajukan permohonan grasi. Demikian juga pidana mati ditunda jika terpidana sakit jiwa atau wanita yang sedang hamil. Ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan”.
E.    Tujuan Pidana Mati
Bertalian dengan fungsi hukuman mati maka tujuan pidana mati tidak dapat dipisahkan dengan tujuan hukum pidana. Dalam rentang sejarah hukum pidana, ada 3 (tiga) aliran pemikiran yang berkaitan dengan tujuan hukum pidana. Pertama, aliran klasik yaitu aliran yang bertitik tolak terhadap paham indeterminisme yang berujung pada paham/teori pembalasan. Maka dalam konteks ini pidana mati merupakan upaya pembalasan terhadap perbuatan dari pelaku tindak pidana. Kedua, aliran modern yang menerapkan ide individualisasi pidana yang bertujuan untuk membina/memperbaiki pelaku tindak pidana. Aliran ini tidak menghendaki adanya pidana mati, karena dengan adanya pidana mati sekaligus menghentikan upaya untuk membina/memperbaiki pelaku tindak pidana. Ketiga, aliran neo-klasik, yaitu aliran merupakan aliran yang mengkombinasikan antara paham pembalasan dan paham pembinaan bagi pelaku tindak pidana. Maka tujuan pidana mati menurut aliran ini adalah sebagai pembalasan terhadap perbuatan pelaku tindak pidana dengan menciptakan filter terhadap pelaksanaan pidana mati melalui beberapa mekanisme yang bersifat pembinaan, misalnya masih memberikan upaya hukum bagi terpidana, adanya peralihan pidana mati ke pidana penjara seumur hidup, dsb.
F.    Pengaturan Pidana Mati dalam Hukum Positif Indonesia
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa dasar pemberlakuan pidana mati diatur dalam Pasal 10 huruf a Angka (1) KUHP jo Pasal 11 KUHP. Setidaknya tindak pidana yang diancam dengan pidana mati di dalam KUHP ada 9 (sembilan) buah, yaitu:
       1.  Pasal  104 KUHP (makar terhadap presiden dan wakil presiden);
       2.  Pasal 111 ayat (2) KUHP (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang , jika permusuhan itu dilakukan atau berperang);
3.  Pasal 124 ayat (1) KUHP (membantu musuh waktu perang);
4.  Pasal 124 bis KUHP (menyebabkan atau memudahkan atau menganjurkan huru hara);
5.  Pasal 140 ayat (3) KUHP (makar terhadap raja atau presiden atau kepala negara sahabat yang direncanakan atau berakibat maut);
6.  Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana);
7.  Pasal 365 ayat (4) KUHP (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati);
8.  Pasal 444 KUHP (pembajakan di laut, di pesisir dan di sungai yang mengakibatkan kematian); dan
9.  Pasal 479 k ayat (2) dan Pasal 479 o ayat (2) KUHP (kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan).
Adapun pidana mati juga dikenal dalam perundang-undangan khusus di luar KUHP, diantaranya seperti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Teroris, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api.
Hal ini berarti bahwa secara yuridis normatif (hukum pidana positif), pidana mati diakui eksistensinya dalam hukum pidana Indonesia.
G.    Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia
Di beberapa negara pelaksanaan pidana mati dilaksanakan dengan berbagai cara, di antaranya:
1.    Di negeri Cina ditembak di bagian belakang kepala;
2.    Di negara Sudan dan Iran dengan menggantung atau melempari atau menembak (hanging, stoning or shooting);
3.    Di negara Saudi Arabia dan Yaman dipenggal dengan pedang;
4.    Di Oklahoma dengan lethal injection;
5.    Beberapa negara di Timur Tengah dilempari dengan batu sampai mati;
6.    Di negara USA dengan electrik chair atau gas chamber (kamar gas);
7.    Di Arizona dengan gas chamber;
8.    Di negara Burundi, Comoros, Guinea, Lebanon, eksekusi pidana mati di tempat terbuka;
9.    Di negara Saudi Arabia, China, Gabon, Libia, Kazakhstan, Guatemala, disiarkan di Televisi;
10.  Di Thailand dapat disaksikan oleh wartawan dan kameramen saat ditembak.
      
Di Indonesia cara pelaksanaan pidana mati diatur dalam Pasal 11 KUHP yang menentukan “Pidana mati dijalankan oleh algojo pada tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.”
Pelaksanaan pidana mati berdasarkan Pasal 11 KUHP di atas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak dikeluarkannya Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, Penetapan Presiden tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964, dimana di dalamnya diatur bahwa pelaksanaan pidana mati di Indonesia tidak lagi seperti yang ditetapkan di dalam Pasal 11 KUHP melainkan ditembak sampai mati.
Pelaksanaan pidana mati tersebut adalah sebagai berikut:
1.    jika tidak ditentukan lain oleh Menteri Hukum dan HAM maka pidana mati dilaksanakan di suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama;
2.    pidana mati yang dijatuhkan atas beberapa orang di dalam suatu putusan dilaksanakan secara serentak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan pelaksanaan yang demikian itu;
3.    kepala polisi tempat kedudukan pengadilan tersebut, setelah mendengar masehat jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati;
4.    tiga kali dua puluh empat jam sebelum pelaksanaan pidana mati, jaksa memberitahukan kepada terpidana mengenai pelaksanaan pidana mati tersebut;
5.    apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah melahirkan;
6.    pembela terpidana atas permintaannya sendiri dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati;
7.    pidana mati dilaksanakan di tempat tertutup, kecuali ditetapkan lain oleh presiden;
8.    pelaksanaan pidana mati dilaksanakan regu tembak dari kepolisian yang terdiri dari seorang perwira, semuanya dari brigade mobil;
9.    regu tembak tidak menggunakan senjata organiknya;
10.  terpidana dapat menjalani pidana dengan berdiri, duduk atau berlutut;
11.  pada saat pelaksanaan pidana mati, mata terpidana ditutup.
Pelaksanaan pidana mati ini juga diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
[1] Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit Alumni, 1977), hal. 30.
[2] C. Djisman Samosir, Sekelumit tentang Penologi & Pemasyarakatan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2012), hal. 164.
[3] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, yang diberlakukan kembali berdasarkan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.
[4] http://m.berdikarionline.com/gotong-royong/20131017/soekarno-tidak-setuju-amir-sjarifuddin-dieksekusi-mati.html, diakses pada tanggal 12 November 2013.
[5] http://www.dw.de/indonesia-tahun-ini-laksanakan-eksekusi-mati/a-16573754, diakses pada tanggal 12 November 2013.
[6] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal. 188-189.
[7] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 462.
[8] C. Djisman Samosir, Op. Cit., hal. 47-48.
[9] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit., hal. 462.
[10] C. Djisman Samosir, Op. Cit., hal. 48-49.
Categories:

0 komentar:

Post a Comment